Permendikbud Nomor 34 Tahun 2018 tentang Standar Nasional Pendidikan
SMK/MAK mengungkaplkan bahwa tujuan penilaian hasil belajar adalah untuk:
1. Mengetahui tingkat capaian hasil belajar/kompetensi peserta didik, 2.
Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, 3. Mendiagnosis
kesulitan belajar peserta didik, 4. Mengetahui efektivitas proses pembelajaran,
dan 5. Mengetahui pencapaian kurikulum.
Uji Kompetensi Keahlian (UKK) merupakan penilaian
yang dilaksanakan untuk siswa SMK guna mengukur pencapaian kompetensi peserta
didik yang setara dengan kualifikasi jenjang 2 (dua) atau 3 (tiga) pada KKNI.
UKK dilaksanakan di akhir masa studi oleh satuan pendidikan terakreditasi
bersama mitra dunia usaha/industri atau Lembaga Sertifikasi Profesi.
Hasil UKK bagi peserta didik akan menjadi indikator ketercapaian standar kompetensi
lulusan.
Pada masa darurat Covid -19 ini Mendikbud menerbitkan surat edaran No. 4 Tahun 2020 tanggal 24 Maret 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam masa Darurat Penyebaran Covid-19. Pada butir No. 1 Surat Edaran ini diungkapkan bahwa UN dibatalkan termasuk Uji Kompetensi Keahlian 2020, selanjutnya tidak ada kalimat lain lagi tentang Uji Kompetensi Keahlian padahal siswa SMK setelah menyelesaikan seluruh program pendidikan sejatinya memperoleh ijazah dan sertifikat kompetensi yang akan digunakannya untuk meyakinkan dunia usaha dan dunia industri bahwa dia kompeten untuk bekerja. Permasalahanya bagaimana siswa tidak mengikuti UKK namun harus mendapatkan Sertifikat Kompetensi.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Pasal 61 ayat 3 yang berbunyi: “Sertifikat
kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada
peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk
melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.” Jadi ada
dua Lembaga yang memiliki hak untuk menerbitkan sertifikat kompetensi siswa
yaitu: Satuan Pendidikan dan LSP.
Panduan UKK 2019/2020 yang diterbitkan Kemdikbud pada Bagian
IV yang diterbitkan pada bulan Desember tahun 2020 mengungkapkan:
"Sertifikat Kompetensi pada point 3 tertulis bahwa Sertifikat Kompetensi
dapat berbentuk : Berlogo Garuda (LSP), LSP, DUDI/ Asosiasi Profesi dan Tutwuri
Handayani". Semua mafhum bahwa logo yang ada di dalam sebuah sertifikat
menentukan siapa yang menerbitkan dan bertanggung jawab terhadap isinya. Dengan
demikian terdapat paradoks antara UU No 20 tahun 2003 dan Pedoman UKK, sangat
mungkin ada tujuan lain munculnya empat lambang sertifikat UKK, yaitu seperti
mempermudah siswa diakui Dunia Usaha dan Dunia Industri ketika melamar
pekerjaan dan sebagainya. Konsep demikian memang sebenarnya sudah menjadi flatform SMK
yang baik, yaitu dalam perencanaan, pembelajaran dan evaluasi SMK
manunggal bersama dengan DUDI mitra kerjanya.
Dari semangat dual system menyatunya antara SMK
dan DUDI inilah sampai sampai pada penerbitan sertifikat juga bisa berlogo
DUDI. Seharusnya tidak demikian, tetap saja yang menerbitkan Sertifikat adalah
Satuan Pendidikan atau LSP. Menurut UU No Tahun 2003 pada BAB XX
tentang Ketentuan Pidana ayat 1 tertera: "Perseorangan, organisasi,
atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi,
gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)." Sementara ini banyak sekali
DUDI mitra SMK yang menerbitkan sertifikat kompetensi padahal DUDI tersebut
bukan sebuah lembaga LSP.
DUDI tidak semuanya memiliki LSP, sebuah DUDI yang memiliki LSP selain
harus memiliki sertifikat dari BNSP sebagai LSP juga terdaftar dalam list
website BNSP yaitu BNSP.go.id. Beberapa DUDI mengaku LSP namun tidak dapat
menunjukan kedua syarat tersebut tidak syah menerbitkan sertifikat, kalaupun
menerbitkan bukan dari DUDI nya namun dari BNSP, DUDI yang tidak dapat
menunjukan kedua syarat diatas boleh jadi hanya sebatas memperoleh lisensi
sebagai TUK LSP saja.
Pada keadaan darurat Covid-19 perihal penyelenggaran
UKK yang dibatalkan intinya pertama siswa tidak boleh mengikuti UKK namun
tetap harus memiliki Sertifikat. Karena UKK dibatalkan maka menjadi kewenangan
SMK untuk membuat skema bagaimana mengumpulkan nilai yang sudah diraih siswa
baik nilai Mapel C2 dan C3 atau Mapel kejuruan tertinggi dari
semester tiga sampai lima. Kumpulan nilai tersebut bolehlah dinamakan skill
passport, contoh skill passport yang diterbitkan sekolah dengan format
sbb:
Surat Edaran Menteri didasarkan pada kondisi darurat,
ketika sudah tidak darurat maka UKK dengan sendirinya menjadi seperti diatur
oleh regulasi jadi UKK bole dilaksanakan diakhir boleh jadi ketika siswa sudah
lulus. JIka UKK tetap dilaksanakan pada masa darurat namun resiko nya zero %
seperti pda kompetensi kealhian tertentu dengan menggunakan online maka
dibolehkan asal tidak menggunakan nama UKK, gunakan saja nama lain misalnya Uji
Sertifikasi Kompetensi. Tidak dikatakan mengakali regulasi, namun substansi
lebih utama tanpa ada pelanggaran terhadap regulasi yang ada.
Permasalahan selanjutnya adalah karena UKK dibatalkan
sementara keuangan dari siswa sudah masuk dan sebagian sudah digunakan untuk
kegiatan perencanaan dan persiapan membeli alat dan bahan, verifikasi dan
validasi Tempat Uji Kompetensi (TUK) begitu juga karena sudah ada kerjasama
dengan DUDI untuk asesor, sertifikat dan sebagainya. Hal ini perlu dibuat
penjelasan yang dapat diterima akal sehat dan dibicarakan dengan stakeholder
agar tidak muncul permasalahan seperti berkurangnya kepercayaan di kemudian
hari.
Pada kondisi darurat sekarang ini tidak bisa menyelenggarakan segala sesuatu
dengan ideal sebagaimana biasanya. Penyelenggaraan uji kompetensi sangat baik
diusahakan dengan menggunakan test berbasis online, apakah peserta test
melaksanakan praktik ataupun project dan penugasan lainya. BIsa dilaksanakan
berbasis online, misalnya siswa membuat turorial suatu unit kompetensi dan
diunggah do youtube. Asesor eksternal dari DUDI dan Asesor internal/ guru
penguji dapat menilai dari SOP nya sudah benar atau belum. Hal yang sama
baiknya berlaku juga dengan LSP.
Saat ini guru-guru membelajarkan
siswa dari rumah (WFH) tentu membelajarkan siswa dari rumah membutuhkan energi
untuk berfikir merencanakan, memberikan vicon dan melaksanakan evaluasi. Sangat
bijak jika Yayasan, tidak menjadikan guru sebagai pekerja sangat beda antara
guru dengan pekerja. Pekerja tidak bekerja tidak dapat fee, sementara guru tidak
mengajar tidak berarti tidak bekerja, karena merencanaka dan mengevaluasi sering
tidak harus kelihatan sama orang banyak. Dengan demikian ketika guru dapat
membuktikan dirinya merencanakan
melaksanakan pembelajaran online serta mengevaluasi sangat bijak jika
hak hak nya diberikan.
No comments :
Post a Comment